Minggu, 10 Juni 2012

Cinta, Nikah dan Keluarga

                                                                                                         


Benarkah pernikahan dan keluarga selalu bermula dari cinta ? Harian Taiwan, Nanyang Siang Pau, Kamis (08/03/2012) memberitakan, seorang wanita bernama Wang Xing Nvzai (27 tahun), mencatatkan pernikahannya dengan pemuda lajang Lee (23 tahun), di kantor catatan sipil di Distrik Tanzi, Taiwan. Setelah pernikahan disahkan pihak berwenang, Wang mengajak suaminya ke sebuah showroom mobil. Wang meminta Lee membelikan mobil untuknya. Namun reaksi Lee membuat kecewa Wang.
Lee menyatakan akan mempertimbangkan permintaan Wang. Mendengar kata-kata suaminya itu, Wang pun kesal. “Ceraikan saya jika kamu tidak mau membelikan mobil!” ungkap Wang kepada Lee dengan ketus dan marah.
Mendengar ucapan istrinya, Lee pun emosi. Mereka berdua kemudian kembali ke kantor catatan sipil yang baru saja mereka tinggalkan sekitar satu jam yang lalu. Pasangan Wang dan Lee mendaftarkan perceraian mereka. Peristiwa itu terjadi pada 6 Maret 2012 sempat menjadi bahan pembicaraan warga Taichung City, tempat tinggal pasangan tersebut. Bahkan pihak kantor catatan sipil di Tanzi menyebut ini sebagai pernikahan sah yang paling singkat di Taiwan.

Kita juga sering mendengar maraknya perceraian di lingkungan artis dan selebritis. Pedangdut Cici Paramida menikah dengan Suhaebi (alm), usia pernikahannya hanya 5 bulan. Artis Kristina dinikahi Al Amin Nasution, tapi enam bulan setelah mengarungi kehidupan pernikahan, Kristina melayangkan gugatan cerai. Demikian pula kisah artis Desy Ratnasari yang menikah dengan Trenady Pramudya, dan bercerai satu tahun setelahnya. Dewi Persik menikah dengan Aldi Taher hanya bertahan kurang lebih 1 tahun.
Sebelum menikah mereka bilang cinta. Setelah menikah ternyata tidak bertahan lama. Ada apa dengan cinta, ada apa dengan mereka?
Nikah Tidak Cukup Dengan Kata Cinta
Ternyata, tidak cukup dengan kata cinta. Pada contoh-contoh di atas, tampak ada kerapuhan dalam pondasi pernikahan. Pondasi yang mereka bangun untuk menciptakan keluarga tidak cukup kokoh, sehingga membuat kehidupan rumah tangga cepat goyah dan akhirnya roboh. Pernikahan yang tidak dilandasi niatan suci untuk beribadah, untuk menunaikan amanah Ketuhanan dan melaksanakan kewajiban kemanusiaan serta peradaban. Pernikahan yang semata-mata dilakukan “karena ingin”, karena mau, karena senang, karena syahwat….
Yang paling ekstrem adalah kisah pernikahan Wang dan Lee di Taiwan. Mereka menikah hanya satu jam, dan belum sempat melakukan “apa-apa” sebagai suami isteri. Karena seusai menikah di kantor catatan sipil, Wang segera mengajak Lee ke showroom mobil dan minta agar Lee membelikan mobil untuknya. Tidak dinyana, Lee memberikan jawaban yang mengecewakan Wang, maka segera Wang melontarkan kekesalan hatinya, yang akhirnya berujung ke perceraian.
Mengapa mereka menikah, jika hanya untuk bercerai satu jam setelahnya ? Padahal mereka mengobral kata cinta setiap detiknya…..
Penjelasan yang lebih bertanggung jawab adalah melihat dari pondasi pernikahan mereka. Jika pernikahan dilandasi dengan pondasi yang kokoh, pastilah akan membuat rumah tangga yang terbentuk bertahan dan awet. Tidak akan mudah goyah oleh terpaan angin dan badai, tidak akan mudah karam oleh dahsyatnya gelombang. Keluarga akan mampu mengarungi samudera raya kehidupan yang penuh godaan, rintangan, gangguan, dan tantangan.
Maka ketika memasuki gerbang pernikahan, pondasi yang harus dibangun adalah kesadaran ibadah. Motivasi untuk menunaikan amanah Ketuhanan, niat suci untuk melaksanakan tuntunan Kanjeng Nabi, kehendak kuat untuk membangun peradaban kemanusiaan yang berwibawa dan bermartabat. Tanpa motivasi yang kuat seperti itu, akan memudahkan keluarga terhempas di tengah badai dan gelombang. Mudah diterpa masalah dan tidak mampu bangkit setelah terjatuh.
Bagi yang sudah terlanjur membentuk keluarga tanpa motivasi ibadah yang kuat, tidak ada hal yang terlambat. Anda bisa memulai dari titik nol, yaitu membangun kesadaran ibadah itu sekarang. Karena awal itu penting, namun lebih penting lagi menjaga selama prosesnya. Maka penting untuk menanam motivasi sejak awal, yang lebih penting lagi adalah menjaga kebaikan dalam kehidupan keseharian. Maka, mulailah dari titik nol, dari sekarang. Bismillah.
Cinta Menghajatkan Kepastian dan Tanggung jawab
Allah menciptakan manusia, pada saat yang sama memberikan perasaan, kecenderungan, dan ketertarikan terhadap keindahan. Rasa kecenderungan dan ketertarikan ini adalah sesuatu yang bersifat fitrah dan alamiah. Allah menggambarkan, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang” (Ali Imran: 14).
Di antara fitrah manusia adalah memiliki ketertarikan terhadap pasangan jenisnya. Pada sisi yang lain, Allah telah memberikan tuntunan pernikahan sebagai jalan resmi untuk menyalurkan fitrah ketertarikan terhadap pasangan jenis tersebut. Di sinilah kebesaran dan kasih Allah ditampakkan secara nyata kepada kita, dengan menciptakan manusia secara berpasang-pasangan.
Akan tetapi sangat disayangkan bahwa banyak manusia mengekspresikan rasa cinta dan ketertarikan terhadap pasangan hidup dengan memenuhi semua keinginan nafsu syahwat mereka. Bermula dari rasa ketertarikan, menguat menjadi cinta, ternyata berlanjut dan berakhir dengan petaka. Ini adalah cinta yang dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab, yang akhirnya menghancurkan makna cinta itu sendiri. Bukan kebaikan yang didapatkan, namun justru kerusakan yang menjadi hasilnya.
Tidak cukup dengan obral janji, tebar pesona, dan kata cinta. Yang diperlukan adalah kepastian dan tanggung jawab. Akad nikah adalah sebentuk kepastian dan tanggung jawab. Akad nikah adalah tanda cinta. Setelah hidup berumah tangga, masing-masing menunaikan peran, melaksanakan kewajiban, memberikan yang terbaik untuk pasangan, menjauhi segala yang tidak membahagiakan pasangan. Itulah kepastian cinta dan tanggung jawab yang nyata. Bukan hanya janji, bukan hanya mengumbar kata cinta. Tunjukkan cintamu dengan kepastian dan tanggung jawab !
Keluarga Penuh Cinta
Setiap kali kita berbicara tentang cinta dalam keluarga, selalu mengkaitkan dengan istilah sakinah, mawadah, wa rahmah. Tiga kata yang acap diringkas dengan sebutan Keluarga Sakinah. Sebagaimana diketahui, kata sakinah, mawadah dan rahmah itu diambil dari firman Tuhan:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri (pasangan) dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah) kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih (mawadah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Ar Rum : 21).
Kata sakinah berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, kata sakinah mengandung makna tenang, tenteram, damai, terhormat, aman, nyaman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, dan memperoleh pembelaan. Dengan demikian keluarga sakinah berarti keluarga yang semua anggotanya merasakan ketenangan, kedamaian, keamanan, ketenteraman, perlindungan, kebahagiaan, keberkahan, dan penghargaan.
Kata mawaddah juga berasal dari bahasa Arab. Mawaddah adalah jenis cinta membara, perasaan cinta dan kasih sayang yang menggebu kepada pasangan jenisnya. Mawaddah adalah perasaan cinta yang muncul dengan dorongan nafsu kepada pasangan jenisnya, atau muncul karena adanya sebab-sebab yang bercorak fisik. Seperti cinta yang muncul karena kecantikan, ketampanan, kemolekan dan kemulusan fisik, tubuh yang seksi; atau muncul karena harta benda, kedudukan, pangkat, dan lain sebagainya.
Biasanya mawaddah muncul pada pasangan muda atau pasangan yang baru menikah, dimana corak fisik masih sangat kuat. Alasan-alasan fisik masih sangat dominan pada pasangan yang baru menikah. Kontak fisik juga sangat kuat mewarnai pasangan muda. Misalnya ketika seorang lelaki ditanya, “Mengapa anda menikah dengan perempuan itu, bukan dengan yang lainnya?” Jika jawabannya adalah, “Karena ia cantik, seksi, kulitnya bersih”, dan lain sebagainya yang bercorak sebab fisik, itulah mawaddah.
Demikian pula ketika seorang perempuan ditanya, “Mengapa anda menikah dengan lelaki itu, bukan dengan yang lainnya ?” Jika jawabannya adalah, “Karena ia tampan, macho, kaya”, dan lain sebagainya yang bercorak sebab fisik, itulah yang disebut mawaddah.
Rahmah berasal dari bahasa Arab. yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, juga rejeki. Rahmah merupakan jenis cinta dan kasih sayang yang lembut, terpancar dari kedalaman hati yang tulus, siap berkorban, siap melindungi yang dicintai, tanpa pamrih “sebab”. Bisa dikatakan rahmah adalah perasaan cinta dan kasih sayang yang sudah berada di luar batas-batas sebab yang bercorak fisik.
Biasanya rahmah muncul pada pasangan yang sudah lama berkeluarga, dimana tautan hati dan perasaan sudah sangat kuat, saling membutuhkan, saling memberi, saling menerima, saling memahami. Corak fisik sudah tidak dominan.
Misalnya seorang kakek yang berusia 80 tahun hidup rukun, tenang dan harmonis dengan isterinya yang berusia 75 tahun. Ketika ditanya, “Mengapa kakek masih mencintai nenek pada umur setua ini?” Tidak mungkin dijawab dengan, “Karena nenekmu cantik, seksi, genit”, dan seterusnya, karena si nenek sudah ompong dan kulitnya berkeriput.
Demikian pula ketika nenek ditanya, “Mengapa nenek masih mencintai kakek pada umur setua ini?” Tidak akan dijawab dengan, “Karena kakekmu cakep, jantan, macho, perkasa”, dan lain sebagainya; karena si kakek sudah udzur dan sering sakit-sakitan. Rasa cinta dan kasih sayang antara kakek dan nenek itu bahkan sudah berada di luar batas-batas sebab. Mereka tidak bisa menjelaskan lagi “mengapa dan sebab apa” masih saling mencintai.
Keluarga sakinah memiliki suasana yang damai, tenang, tenteram, aman, nyaman, sejuk, penuh cinta, kasih dan sayang. Keluarga yang saling menerima, saling memberi, saling memahami, saling membutuhkan. Keluarga yang saling menasihati, saling menjaga, saling melindungi, saling berbaik sangka. Keluarga yang saling memaafkan, saling mengalah, saling menguatkan dalam kebaikan, saling mencintai, saling merindukan, saling mengasihi. Keluarga yang diliputi oleh suasana jiwa penuh kesyukuran, terjauhkan dari penyelewengan dan kerusakan.


Disebabkan oleh cinta, Rasulallah SAW menganjurkan kepada pengantin baru hal-hal berikut ini:
  1. Shalatlah dua rakaat.
  2. Ambil gelas, tuangkan susu dan madu, teguk dan rengkuh isinya bersama.
  3. Letakkan niat dengan benar sebab setiap amal seorang muslim dihitung berdasarkan niatnya. Dalam satu hadits diriwayatkan dari Abu Dzar bahwasanya orang-rang bertanya kepada Rasulullah saw.: “Wahai Rasulullah orang-orang kaya telah memborong pahala, di mana mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka menyedekahkan kelebihan harta mereka”. Rasulullah saw. bersabda: “Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang dapat kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik adalah sedekah, mencegah dari perbuatan mungkar adalah sedekah, bahkan di dalam salah seorang di antara kamu sekalian itu bersetubuh dengan istrinya juga termasuk sedekah”.
·  Meletakkan tangan di atas kening istri seraya berdoa, “Allahumma Innii Asaluka Min Khoiriha wa Khoiri Ma Jabaltaha Alaihi. Wa Audzu bika Min Syarri wa Syarri Ma Jabaltaha Alaih”  Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan dari apa yang Engkau berikan kepadanya serta Aku berlindung kepada-Mu dari pada keburukannya dan keburukan yang Engkau berikan kepadanya”.
Semoga kita semua mendapatkan dan memiliki keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Keluarga yang dipenuhi cinta, Aamiin

0 komentar:

Posting Komentar